Just Me Being too Emotional

Why achieving bachelor degree is that too emotional to me? 

Karena bisa jadi sarjana dengan segala keterbatasan itu buatku perjuangannya bukan cuma saat kuliah. Tapi seumur hidup. Ingat susahnya sekolah bahkan dari SD. Nggak TK krn ga ada biaya, diajarin sendiri di rumah sama mama pakai buku bekas dr tetangga, diajarin hitung2an pakai lidi yg dipotong2 dan dikaretin, sampai bisa perkalian sebelum SD. 

Selalu peringkat 2 besar selama SD tp terhalang mau masuk SMP favorit, orangtuaku dihina dan direndahkan "mana mampu dia nyekolahin anaknya di sekolah fav itu, itu kan sekolahnya anak2 orang kaya"

Meski begitu, guru dan teman2 banyak yg dukung paling ga buat ikut tes masuknya aja buat sekadar ngukur kemampuanku, bisa lolos sekolah fav itu apa ga, tapi aku tolak karena khawatirnya aku keterima tapi jadi sedih karena nggak bisa sekolah di sekolah fav itu (rada kepedean emang anaknya akutuh, wkwk 😅✌) akhirnya sekolah di swasta dekat rumah supaya ga perlu ngongkos. Alhamdulillah di swasta masih bisa berprestasi dan jadi juara umum. 

Mau masuk SMA sempat terbentur sistem zonasi, SMP di kabupaten pingin masuk SMA di kota, kuota siswa kab-kota cuma 17 siswa dan hari terakhir seleksi udh di posisi ke 15. Ingat momen sampe nginep2 di rumah winny buat update info bareng (karena target sekolah yang sama, wkwk) mana pake backsound the massive "jangan menyerah" Elaaah 🤣 Alhamdulillah bisa lolos di SMA yg di mau. 

Di SMA karena ketemunya yang lebih pintar yaa mayan lah nggak malu2in amat. Masih bisa masuk kelas yang sama guru2 dibilang kelas unggulan, XI IPA 5, wkwk. Tapi sampe kelas 3 akhir pun nggak kebayang bakal kuliah, bahkan masih ingat waktu ngobrol soal kuliah sama Istiye sempat bilang "ah gw mah ga kuliah kali, kerja aja", lah kok? " Iya kan lumayan kerja sebulan dapat x juta"

Geblek emang. Gegara sekolah dikelilingin pabrik otaknya nyampenya jadi buruh pabrik aja 🤣

Btw, dulu mah sekolah fav negeri, yaa.. 

Tapi, tapi, disemangatin juga sama Minaru buat "gapapa, may belajar aja, gw juga belajar dr buku2 latihan soal aja" Krn kita sama2 ga les di luaran, cuma ngandelin pemahaman materi dr sekolah aja sementara teman2 lain les di sana sini selain yg dr sekolah. Encol, GO, NF, primagama, you named it, lah nama2 tempat les yg biayanya wow itu.

Lalu ada program bidikmisi buat anak2 kurang mampu, disuruh ikutan, ganti2 pilihan PTN, cari yg persaingannya masih bisa terjangkau buatku, UI, unpad, dan kampus2 PTN jabodetabek mah ga keuber saingannya. Akhirnya sempat pilih Unand, (Andalas, Padang), UnSoed (Jateng) dan UB (Malang) . Terima kasih, Pak Sjaiful Bachri yang sabar nerima pergantian pengajuan form saya waktu itu, wkwk. 

Qadarullah keterima di UB. Keluarga ikut bangga, bukan cuma orang tua, saudara, tetangga, semua ikut bersuka cita. Banyak doa baik yang ikut terpanjat. Ada juga tetangga yang bahkan kasih uang jajan pas berangkat, hehe.. Tanteku sempat bilang, "Nanti sampai di sana sebut nama " X " (anaknya) ya, Mudah-mudahan bisa masuk PTN juga kayak Maya. Dapat beasiswa juga. 

Bayangan dan rencanaku tak terkira indahnya. Aku mau ajak orang tuaku semacam "kampus tour" Nunjukin lingkungan kampus, kelas belajarku, gedung rektorat, perpustakaan yang sering aku kunjungi, duduk-duduk santai di gazebo FK tempat kelompok ospek ku kumpul, dll. Nyobain jajanan dan makanan di sekitaran kosan yang murah. Tahu toge, nasi pecel di belakang kosan, keripik buah khas Malang. 

Tapi perasaan dan bayangan itu hanya bertahan setahun dan harus merelakan mimpi itu selamanya. Ini yang paling bikin sakit. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku merasa di sini bisa wujudkan cita-cita dan harapan buat bikin hidup lebih baik. Paling nggak, sedikit "mengangkat derajat orang tua" Yang selama ini direndahkan tapi bisa juga kuliah dengan beasiswa. Full, malah dapat uang jajan dari pemerintah dan rektorat.

Tapi, Qadarullah, itu semua harus dilepas dan akhirnya, pulang ke Tangerang dengan mengubur dalam-dalam kebanggan yang pernah tericip sangat singkat itu. Momen orang tua jemput bukan buat wisuda tapi mengubur harapan, membawa kembali anaknya pulang. Selama perjalanan pulang nggak berenti dzikir

"laa hawla wa laa quwwata illa billaah" 

Karena benar-benar merasa se-hopeless itu. Nggak tau apa yang mau dilakukan.  

Ada momen waktu ditengokin Istiye kelepasan nangis depan dia, "Ya ampun maay, temen gw yg biasanya ceria" 🥺

Di Tangerang pun gatau mau mulai kuliah lagi apa nggak. Kayak ada trauma buat memulai lagi. Bingung juga soal jurusan sampe akhirnya ambil pendidikan. Padahal ga pernah kebayang ngomong depan umum buat ngajar, orang dari jaman sekolah kalau ada tugas maju ke depan aja grogian. Lah ini malah ambil jurusan ngomong depan umum pake bahasa asing lagi. Semacam cari perkara. Tapi akhirnya setelah dijalani ternyata bisa juga. Di kampus yang baru Alhamdulillah Allah mudahkan. Kuliah sambil kerja, dengan segala keribetannya. 

Meskipun sekarang aku "tidak (atau belum?) menjadi apa-apa" Tapi bisa merasakan hidup nyaman seperti ini adalah suatu rezeki yang melimpah. Beyond my expectation. Really, Allah is the Greatest. Allahu Akbar. Rasanya ga akan pernah cukup ucap syukur ini untuk sekadar berterimakasih sama Allah. Dan semuanya nggak akan bisa terwujud kalau bukan karena perjuangan orangtuaku, terutama mama, dari kecil, sebagai tulang punggung keluarga. 

Bukan bermaksud menjual kesedihan atau perjuangan hidup. I know, I really know, every one has their own struggles. Ini adalah caraku untuk banyak-banyak bersyukur dengan mengingat betapa Allah telah menganugerahiku dengan berkah yang tak terhitung.

Apapun pencapaian kecil yang berhasil kita dapatkan patut dirayakan.

Itu sebabnya aku selalu senang dengan kegembiraan yang juga dirasakan teman-temanku. Meski nggak selalu komen atau nyapa, melihat story/status mereka di medsos, makan ini itu, jalan-jalan ke sini ke situ, membeli apa yang mereka mau. Benar-benar aku nggak ada rasa iri atau anggap itu pamer. Karena kita nggak tau dibalik kesenangan yang mereka rasakan ada hal apa yang harus mereka ikhlaskan, sakit yang mereka sembunyikan, dan hal-hal lain yang tidak mungkin ditampilkan. 

Sebanyak apapun orang bercerita tantang kehidupannya, kita tidak akan pernah benar-benar tahu tentang mereka.

Truly, deeply, I hope everyone's happy with their life they're living on right now while trying to achieve another great milestones in life. Cheers for us‼️

Selamat menyambut Hari Senin teman-teman‼️ Jangan sebal-sebal amat yaa sama Senin, hehe..

Love you, All💕

Maya Fadilah

23 Desember 2024 4.55 am

Ps. Sengaja ada beberapa nama teman yang kusebut. Just in case, I remember those moments and really feel thankful for the love you gave until now. Yang tidak kesebut pun banyak, dan tidak akan terlupakan.

Jazakumullahu kayran 💕

No comments:

Powered by Blogger.